Oleh: Dharma Setyawan, MA[1] | Disampaikan di Diskusi 4 Pilar MPR RI | Berkepribadian Dalam Kebudayaan |Metro, 09 Februari 2018
Malam hari saya ditelpon senior, yang sudah 2 periode menjabat Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) asal Lampung. Saya diminta menemani diskusi di rumah warga di Karang Rejo Metro Utara. Mengambil tema,”Bekepribadian Dalam Kebudayaan berdasarkan Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Saya kemudian menyadari ini acara sosialisasi 4 pilar MPR RI, namun dilakukan di rumah warga dengan Guyub. Pak Anang mengingatkan untuk tdak berbicara teoritis seperti gaya perguruan tinggi, maka saya penting membuat tulisan ini agar dapat dibaca dan dimengerti dengan mudah oleh banyak pihak. Staff Pak Anang, mas Heri Setyabudi kemudian memberi alamat kegiatan di Rumah Pak Ngateno, RT 20 RW 05 Karang Rejo, Metro Utara, 23 Polos samping SDN 7 Karang Rejo Metro Utara.
Sebelum panjang lebar membahas berkepribadian dalam kebudayan, kita perlu mengingat kembali Trisakti Bung Karno yaitu: Berdaulat dalam politik, Berdikari di Bidang Ekonomi, dan Berkepribadian dalam kebudayaan. 3 trilogi ini pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan, 3 hal ini berkait kelindan dan perlu kerja keras mempraktikannya di lapangan sosial. Oleh siapa? Oleh kita semua yang mau bergerak. Namun fokus pembahasan kita kali ini adalah tentang berkepribadian dalam kebudayaan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengulas kata pribadi /pri·ba·di/ n 1 manusia sebagai perseorangan (diri manusia atau diri sendiri); 2 keadaan manusia sebagai perseorangan; keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak orang; kepribadian /ke·pri·ba·di·an/ n sifat hakiki yg tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain, yang diawali dari kata ber yang artinya mempunyai. Kebudayan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia? kebudayaan /ke·bu·da·ya·an/ 1 hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2 Antara keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Berkepribadian dalam kebudayaan mengandung filsafat yang mengarahkan manusia untuk tidak serakah, tidak semena-mena, tidak memaksakan kehendak. Kebudayaan Indonesia mengajak individu satu dan yang lainnya, untuk bermusyawarah untuk mencapai mufakat, bersatu dan berbuat adil, Nrimo Ing Pandum atau menerima dengan ikhlas dan bersyukur dengan apa yang telah dimiliki dari Tuhan. Berkepribadian dalam kebudayaan mempunyai tujuan luhur untuk ikhlas membangun bumi “Hamemayu Hayuning Bhuwono.”
Kita memiliki kebudayaan yang begitu beragam, dari Sabang sampai Merauke tidak terhitung kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia. Tantangan dimasa depan bagaimana kebudayaan ini tetap tumbuh di tengah kehidupan yang makin modern dan telah berkembangnya teknologi sampai ke kampung-kampung. Ancaman teknologi juga membuat budaya asing masuk dan mempengaruhi generasi yang akan datang. Jangan sampai yang terjadi, budaya kita hilang, lalu budaya asing melalui film, tarian, pakaian, musik, bahkan kuliner, dan kebutuhan kita di masa depan bergantung pada budaya asing.
Pasar Tradisional
Saya ingin berbagi cerita bagaimana kebudayaan perlu kita jaga dan tradisi harus kita genggam dengan erat. Sekitar 4 bulan yang lalu tepatnya pada tanggal 28 oktober 2018, saya mengajak warga RW 07 mendirikan pasar tradisional. Kenapa Pasar Tradisional alasan pertama adalah melestarikan kebudayaan di tengah kota yang makin modern. Yosomulyo yang berwajah kampung tapi berada di Metro Pusat. Menarik untuk dibangkitkan budaya gotong royong yang selama ini makin diabaikan oleh warga. Pasar Tradisional yang selama ini jamak terkenal kumuh, becek, tidak terawat tapi jika kita melihat proses berdirinya, Pasar Tradisional adalah produk asli kebudayaan gotong royong warga kelas menengah ke bawah. Sudah sekian lama, pemerintah tidak menghitung berapa jumlah pasar tradisional yang ada di berbagai daerah. Pasar tradisional ini yang membuat dapur tetap mengepul, yang tetap memberi harapan di tengah harga bahan pokok makin mahal.
Di sisi lain, pemerintah selalu memberi izin lahirnya minimarket baru. Izin Alfamart, Indomart, Giant, dan lainnya membuat warung-warung warga makin tenggelam dan gulung tikar. Kita diajari konsumtif pada pusat belanja yang dimiliki segelintir orang kaya, dan membiarkan warung-warung tetangga hidup segan mati tak mau. Sialnya lagi jika tanggal muda ada sebagian warga yang memilih belanja di minimarket modern, namun ketika akhir bulan mereka berhutang ke warung tetangga. Istilah pasar modern ini lah yang membuat pasar tradisional makin tidak menarik. Tapi berbeda dengan Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi). Sebuah pasar yang mengambil semangat menjual jajanan tradisional tapi dikemas dengan suasana menarik wisata warga dan mengambil semangat gotong royong yang selama ini telah lama diabaikan.
Hal pertama yang kami lakukan adalah membuat kawasan lingkungan cikal bakal tempat pasar menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi. Sebagaimana Gerakan #AyokeDamRaman yang pernah viral setahun yang lalu, saya memulai dengan membuat media sosial Instagam, facebook, video, youtube dan pemberitaan di media online. Beberapa bulan sebelumnya tepatnya bulan Juni dan Juli 2018, saya dan mahasiswa mengerjakan kampung warna-warni di RT 21, tepatnya Jl kedondong RW 07 Yosomulyo Metro Pusat. Tentu, banyak yang tidak memahami maksud dari saya dan mahasiswa membuat warna-warni di tembok-tembok warga. Setelah itu kami pemuda mengajak warga membuat festival permainan tradisional, yaitu semangat mengembalikan permainan anak tempo dulu dan dilombakan pada peringatan 17 Agustus 2018. Hasilnya anak-anak mengenal kembali permainan egrang, bakiya, congklak, gobak sodor, engklek dan permainan lainnya. Tujuan utama kami ingin membahagiakan orang tua yang ikut berlomba bersama anak-anaknya dengan mengembalikan tradisi permainan tempo dulu.
Kemudian saat sudah siap untuk membuat Pasar Tradisional, kami kemudian berinisiatif mengumpulkan tokoh masyarakat RW, RT dan warga khususnya RW 07. Tentu, gagasan membuat pasar tradisional sempat dipandang pesimis oleh beberapa warga. Tapi bagi saya, pilihan optimis adalah pilihan seorang warga yang memilih berdaulat sebagaimana pesan Bung Karno dalam Tri Saktinya di atas tadi. Saya memahami bahwa tidak semua warga memiliki modal untuk berdagang jajanan tradisional seperti tiwul, geblek, getuk, cenil dan lainnya. Maka kami bermusyawarah dan sepakat dengan solusi meminjamkan uang modal dari kas mushola Sabilil Mustaqim yang saat itu berjumlah 15 juta. Warga yang siap berdagang berjumlah 40 orang, ada yang meminjam uang kisaran 200-300 ribu rupiah. Tentu yang paling mengkhawatirkan bukan pada uang yang dipinjamkan ke warga, tapi cara promosi di media sosial tentang Payungi, apakah berhasil atau tidak? Saya kemudian mencetuskan nama pasar yaitu Pasar Yosomulyo Pelangi yang disingkat (Payungi) karena terletak di kawasan Yosomulyo dan memunculkan tema kampung pelangi. Sebuah pasar yang diharapkan dapat memayungi dan memberi teduh bagi banyak warga dan menambah rezeki rumah tangga. Pasar yang berpihak pada kaum alit dan membangun budaya tanding pada pasar yang selama ini diciptakan kaum elit.
Untuk menarik perhatian, kami dibantu kawan-kawan komunitas di Provinsi yaitu komunitas GenPI (Generasi Pesona Indoensia) Lampung untuk menghias rumah-rumah warga dan tembok. Kami membeli payung untuk dipasang di langit-langit, dan Payung besar untuk pedagang. Payung sebagai simbol perubahan dan keteduhan. Saya terus menggerakkan mahasiswa untuk gotong royong membuat gambar di tembok-tembok warga. Pada gelaran pertama tanggal 28 Oktober 2018, kami berhasil mencatat total transaksi 16.800.000 rupiah. Hasil yang tidak mengecewakan. Apakah hanya sampai di sini, gelaran pertama adalah awal dari mengembalikan berkepribadian dalam kebudayaan. Langkah selanjutnya adalah membangun budaya lama yaitu gotong royong agar semakin membesar. Kami membuat spot-spot selfie dari tampah bambu, membersihkan lingkungan secara gotong royong, membuat bangku dari bambu, menanam bunga, dan membuat tema di setiap minggu untuk gelaran.
Kami menyediakan permainan flying fox, panahan, lempar pisau dan rumah baca Pojok Boekeo Cangkir. Selain itu kami juga sedang mengembangkan budaya kretek, musik tradisional, dan memakai atribut pakaian tradisonal seperti blangkon dan Sorjan. Kami juga mengadakan pesantren wirausaha setiap malam Kamis untuk mendidik Ibu-Ibu pedagang agar meningkatkan kualitas makanan tradisional. Hasilnya gelaran terakhir minggu lalu, yaitu gelaran ke 15 (artinya hampir 4 bulan gelaran) kami mengukuhkan omset gelaran dari buka pagi jam 06.00-10.00 siang, pada nilai transaksi terbesar 46.000.000 rupiah. Apakah sampai di sini saja? Tentu tidak, kami akan terus bergotong royong dan berimajinasi tentang gagasan-gagasan baru.
Harga Gotong Royong?
Mbah Kasiyo Ketua RT 20 adalah contoh nyata warga yang setia dan mendahulukan kepentingan gotong royong. Jumat pagi, beliau menyadarkan kami pentingnya gotong royong. Gotong royong lebih mahal dari uang, gotong royong bahkan tidak bisa digantikan dengan nilai uang. Ongkos dari gerakan warga yang paling mahal adalah gotong royong itu sendiri. Seseorang bisa memberi rokok, jajanan, kopi atau barang pengganti karena tidak gotong royong. Tapi itu tetap tidak bisa menggantikan solidaritas, yaitu bersama-sama mengerjakan hal-hal baru secara sukarela. Orang-orang dahulu lebih matang batinnya, mereka bisa menyelami kebudayaan manusia dan membangkitkan kepekaan. Apa yang kita lihat hari ini dengan kemudahan fasilitas dan teknologi, tidak bisa menggantikan mata batin berkepribadian dalam kebudayaan, salah satunya gotong royong.
Jadi jika kita ingin melalukan perubahan di sebuah tempat, hal yang paling sulit adalah menggerakan gotong royong itu sendiri. Sebaik apapun gagasan kita, gotong royong adalah awal dari semua perubahan. Manusia-manusia yang menyadari bahwa perubahan bukan karena persoalan uang, bahwa perubahan terjadi karena kita mau saling mendengar, saling menghargai pendapat, saling menurunkan ego, dan saling memberi inspirasi. Mbah Kasiyo berujar,”kalau gotong royong digantikan uang, tentu semua orang akan mengganti dengan uang, tapi gotong royong itu harganya lebih mahal. Kalau suruh memilih, saya lebih memilih membayar dan melanjutkan pekerjaan. Tapi bukan begitu cara bermasyarakat, gotong royong adalah budaya kita sejak dulu.” Payungi sejak awal dibangun dengan semangat gotong royong. Tidak mungkin pasar berdiri sendiri dan mengandalkan modal uang. Sebanyak apapun uang untuk memulai, tetap gagasan muncul karena batin kita yang mau bersimpul. Mendaratkan ide dengan bersama-sama dan melihat perubahan dengan pasti. “Maka, Gotong Royong adalah Kunci.”
Salam Payungi
[1] Dosen IAIN Metro Lampung, Penggerak #AyokeDamRaman dan Pasar Yosomulyo Pelangi.
