Tradisi Kreatif?

1264

Ketika ide tentang dinding pembatas yang memisahkan satu negara dengan negara lain memuncak, ketika imigrasi dipandang sebagai malapetaka, ketika yang asing dipandang sebagai musuh. (Eka Kurniawan, Manusia Global dan Runtuhnya Batas-Batas,: 2019)

Global dan lokal itu selalu beririsan. Kerugian besar bukan karena kita meniru kebudayaan bangsa lain, tapi saat kita stagnan mempertahankan kebudayaan lokal atau malah total meninggalkannya. Pakaian, tarian, nyanyian, kuliner, rumah adat, bahasa lokal, aksara, alat musik, senjata adat, tradisi dan semua yang telah dianggit nenek moyang.

Tidak ada yang baru dan benar-benar genuin. Kita adalah hasil interaksi antar manusia antar budaya. Apa-apa yang kita makan, berpola yang sama dan bisa sangat mirip dengan bangsa lain. Hakikat manusia sebagai insan yang memiliki cipta, karsa dan karya. System budaya atau kebiasaan yang turun temurun dapat punah karena berhentinya rasa memiliki.
Di tengah system industri yang membuat manusia jadi buruh. Sekolah yang ikut andil memutus rantai kreatifitas. Pola penyeragaman paradigma, agama, kebudayaan, lokalitas, semua dihimpit oleh industri yang menyerang dari berbagai sisi. Orang-orang Mahuzes Papua yang biasa memanen sagu, menebang 1 pohon untuk jatah 6 bulan, lalu industri memberi pilihan harus dikemas atau dikalengkan sampai pembabatan habis pohon sagu untuk dikapitalisasi oleh segelintir elit.

Orang-orang sekolahan malah jauh dari pertahanan lokal. Mereka modern dalam tampilan, tapi primitif dalam pikiran. Air, tanah, beras, kretek, sayuran, pupuk, daging diambil alih oleh industri dan dikapitalisasi untuk diciptakan konsumen-konsumen masyarakat jebolan lembaga pendidikan. Yang asing dibenci tapi dirindui, ditolak tapi sekaligus dinikmati. Di desa tak ada pemuda mengambil jalan pertahanan kebudayaan. Bahkan saat menjadi destinasi, mereka masih tamu di rumahnya sendiri.

Ruang bicara, berkarya sampai pintu Tuhan tertutup oleh suara-suara kaum kota. Tak ada pintu langsung menemukan Tuhan dengan perlindungan masalah sosial. Tuhan seolah berjarak, karena organisasi keagamaan memperpanjang jarak menuju Tuhan, padahal Tuhan sangat dekat. Pakaian adat dianggap menjadi penghalang, kebudayaan menjadi cacian. Pada batas-batas tertentu, kemanusiaan dirapuhkan oleh gagasan orang-orang kota yang individual.

Uang, jabatan dan kekuasaan yang berbicara. Demokrasi dikejar, semua berlari membela dan memuja tapi tak dimaknai dalam keadaban gotong-royong. Masa depan apa yang akan dicapai, dari system sosial yang rapuh dan kemanusiaan dipinggirkan? Bahkan sekelompok orang-orang baru dengan umurnya yang tidak pernah berjuang dipanggung kemerdekaan–tak pernah bersuara saat kemiskinan terstruktur jadi tontonan, penindasan atas konflik lahan, negara mengabaikan, bahkan aparatnya keras menenteng senjata paling depan–kini mereka mencerca lokalitas dari mulai nama sansekerta dan pakaian budaya. Apakah kita percaya kreatifitas akan lahir dari cara mereka yang jelas apatis dan seragam itu? Sekali lagi, mereka itu berumah di atas angin.

Dharma Setyawan.

Kajur S-1 Ekonomi Syariah IAIN Metro/
Penggerak Payungi